gravatar

Padhang Mbulan dan Induk Jamaah Maiyah

Padhang Mbulan dan Induk Jamaah Maiyah

Bermula dari keinginan untuk “memaksa” agar Emha dapat selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung, minimal satu bulan sekali, juga untuk mengantisipasi banyaknya undangan pengajian di Jawa Timur, ketika itu tahun 1992, berlangsung pertemuan keluarga di Jogjakarta, yang akhirnya memutuskan bentuk dari keinginan itu adalah dengan rutin menggelar pengajian, yang oleh Emha diberi nama pengajian Padhang mBulan.

Hingga akhirnya Padhang mBulan berkembang sebagai wahana komunikasi sosial dan workshop sejarah yang merangkum hampir seluruh dimensi nilai aktual yang dialami oleh komunitas yang digelutinya.

Muatan Padhang Mbulan bermacam-macam dan terbuka untuk segala upaya kebaikan dan kebenaran manusia, ia bermuatan spiritual, dialektika ilmu sosial, ilmu hidup, informasi dan pendidikan politik. Karena di Padhanag Mbulan itu berlangsung dialog tentang berbagai persoalan masyarakat mulai dari harga pupuk, tukang blandong dan elit politik, sehingga Padhang Mbulan dengan jamaah maiyahnya bukan saja sekedar peristiwa pengajian tetapi sudah menjadi nilai di dalam masyarakat.

Di setiap Padhang Mbulan, Emha selalu menyatakan bahwa jamaah maiyah ingin membantu Indonesia, minimal tidak merepotkan, tidak mengharap apa-apa, tidak meminta atau memimpikan serta tidak kaget oleh apapun yang dialaminya. Ketika Emha dan Kiai kanjeng lebih banyak menggunakan metode maiyah, Padhang Mbulan-pun menjadi pusat silaturahmi dan komunikasi bagi semua jaringan jamaah Maiyah, terutama dari Jawa Timur dan sekitarnya.