gravatar

Sejarah Singkat Maiyah

Sejarah Singkat Maiyah

Maiyah lahir pada malam menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001, tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas, Emha secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya bersama sahabat-sahabatnya Kiai Kanjeng untuk mensikapi situasi politik yang semakin tidak menentu.

Kegiatan semacam ini sebelumnya sudah sering digelar namun belum menggunakan kata-kata Jamaah Maiyah, sebab hanya berupa kegiatan pengajian yang tidak hendak menekankan pada eksistensi substansif. Dalam perkembangannya sebutan Jamaah Maiyah tetap dipertahankan nilai esensialnya bukan mengacu pada kelompok, golongan, ataupun aliran. Pendekatan dengan nama Jamaah Maiyah lebih bertujuan sebagai bentukan kebersamaan meraih semangat bertahan hidup bahwa Allah berada pada setiap nafas kehidupan.

Di hadapan sahabat-sahabat setianya itu, Emha memberi ilmu dan hikmah, bahwa rakyat Indonesia semakin tidak mendapat jaminan apapun dari negara dan pemerintahnya. Nyawa dan keamanan hidupnya tidak dijamin oleh kepolisian, kedaulatan negerinya tidak dijamin oleh tentara, kesejahteraan ekonominya tidak dijamin oleh produsen-produsen budaya serta media massa. Bahkan Indonesia secara transparan mempertunjukkan politik iblis, industri iblis, budaya iblis. Artinya apa yang sehari-hari diperoleh oleh masyarakat adalah hal-hal yang memusnahkan kemandirian ekonominya serta memerosotkan akhlak kebudayaannya.

Maka Emha kemudian mengajak, untuk membangun sendiri negeri-negeri di dalam dirinya, negeri kemandirian dalam kebersamaan, yang dilukiskannya sebagai lingkaran, yang kemudian disebut sebagai Lingkaran Maiyah atau Lingkaran Kebersamaan, suatu kumpulan sebagian rakyat Indonesia yang bergandengan tangan untuk semaksimal mungkin memerdekakan dirinya dari keadaan-keadaan yang membahayakan.

Maiyah yang berarti kebersamaan, pertama melakukan apa saja bersama Allah. Kedua bersama siapa saja mau bersama. Maiyah bisa berarti komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, dan tidak ada kesenjangan ekonomi.

Maiyah sendiri secara “kata” muncul dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Wijayanto, MA, di tengah-tengah acara internal itu, dengan menyebut beberapa kalimat : “Inna ma’iya rabbi”, menirukan Musa AS. Untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. “La takhaf wa la tahzan, Innallaha ma’ana”, Jangan takut jangan sedih, Allah bersama kita. Tutur Muhammad SAW, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh, untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar.

Maka di dalam Maiyah, Emha dan Kiai Kanjeng tidak memfokuskan kegiatannya pada musik dan kesenian, melainkan proses dan komunikasi sosial yang komprehensif. Emha dan Kiai Kanjeng berkeliling Indonesia untuk menumbuhkan spiritualitas manusia, melalui sholawat, wirid, dan doa, untuk pencerdasan pikiran masyarakat, untuk mengajak membangun kemandirian, dan untuk menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak membahayakan jiwa masyarakat, tetapi bergembira dan diridhoi Allah di dunia dan akhirat.

Dulu Emha dan Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton, dalam Maiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton oleh siapapun. Dulu berpakaian hitam-hitam, dalam Maiyah mereka berpakaian putih-putih, yang tidak untuk menunjukkan bahwa mereka sudah putih melainkan agar terdorong untuk putih. Mereka duduk melingkar, menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya, tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton, Emha dan Kiai Kanjeng hanya bernyanyi, bersholawat, berwirid, membaca puisi atau apapun dengan membawa kesadaran bahwa yang dihadapan mereka adalah Allah.